kaukusnews.com, MAKASSAR – Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, menyayangkan keputusan pelantikan kepala daerah terpilih pada Pilkada Serentak 2024 yang dilakukan secara bertahap. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi, mengingat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelantikan seharusnya dilakukan serentak.
“Ya (harusnya serentak), begitu amanat putusan MK. Saya bukan pemutus UU itu, saya cuma sampaikan semestinya aturan itu dilaksanakan,” kata Danny Pomanto, Kamis, 30 Januari 2025.
Danny sendiri merupakan salah satu dari 13 kepala daerah yang mengajukan permohonan pengujian materil terhadap Undang-Undang Pilkada. Sebelumnya, aturan dalam UU tersebut menyebabkan beberapa kepala daerah tidak dapat menjalankan masa jabatan mereka secara penuh selama lima tahun.
Namun, MK akhirnya memutuskan bahwa kepala daerah hasil Pilkada 2020 bisa tetap menjabat sampai kepala daerah pengganti mereka dilantik, dengan ketentuan masa jabatan tidak lebih dari lima tahun.
Meskipun sudah ada putusan MK tersebut, pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 tetap akan dilakukan secara bertahap. Dijadwalkan pada 6 Februari bagi daerah yang tidak memiliki sengketa, sementara daerah yang bersengketa akan dilantik setelah sidang sengketa hasil di MK selesai.
“Saya hasil MK kemarin yang mengatakan pelantikan serentak itu saya penggugatnya. Tapi kan jelas sekali di situ. Jadi makanya, di media nasional saya diwawancarai, saya bilang sesuai kesepakatan Undang-Undang. Kan kalau pelantikan ini kan Makassar tidak, Sulsel juga tidak. Saya kira UU dibikin untuk ditaati,” ujar Danny Pomanto.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Fajlurrahman Jurdi, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Menurutnya, pelantikan kepala daerah seharusnya dilakukan serentak setelah seluruh sengketa di MK diselesaikan.
“Meskipun dalam Perpres Nomor 80 Tahun 2024 mengatur pelantikan serentak kepala daerah, yakni bupati pada 8 Februari dan wali kota pada 10 Februari, namun muncul putusan MK yang menyatakan bahwa pelantikan harus dilakukan serentak setelah seluruh sengketa di MK selesai,” jelasnya.
Fajlur menegaskan bahwa Perpres tidak lebih kuat daripada putusan MK. Sebab, putusan MK memiliki kedudukan yang setara dengan Undang-Undang. Oleh karena itu, ia menilai bahwa pemerintah harus segera mencari solusi untuk menyelaraskan jadwal pelantikan dengan putusan MK serta menyesuaikan Perpres agar tidak terjadi tumpang tindih antara regulasi dan kebijakan.
“Sekarang adalah bagaimana cara pemerintah mentaktisi lintas jadwal dan mentaktisi putusan MK. Kemudian bagaimana menyesuaikan Perpres 80 Tahun 2024 agar jadwal pelantikan disesuaikan, sehingga semua berjalan selaras,” tutupnya.